Reunitifikasi anak panti, masih menjadi ilusi
Tak
ada satu pun anak di dunia ini yang ingin berpisah dari keluarganya, tak peduli
kandung atau sanak, mereka ingin berkumpul. Tak peduli punya atau tidak, semua
anak suka pelukan, disayangi, diambil rapor tahunan sekolah oleh orang tua,
hingga bercengkrama menonton siaran tv kesukaan di malam hari. Tak terkecuali
bagi mereka, para adikku di panti asuhan. Namun, masih ada polemik,
banyak, banyak sekali. Harus kian dipersiapkan oleh semua elemen, terutama bagi
mereka yang kian seakan memaksa memulangkan mereka secara massal tanpa
persiapan yang matang.
Ini adalah awal kisah, adikku yang
kucintai, ada dua orang, mereka wanita, berusia kurang dari 15 tahun, kini
sudah tak melanjutkan sekolah kembali setelah tinggal bersama keluarga. Tak asing
lagi menjadi alasan, mereka bekerja, untuk membantu keluarga, bermodalkan ijazah
pinjaman dan uang bayaran untuk agen yang memasukan mereka, kini buruh pabrik
menjadi sandangan baru untuk mereka. Berkali-kali kami bujuk, kami tawarkan
untuk melanjutkan sekolah, ternyata itu sudah tak menjadi prioritas. Sesak,
jelas. Aku tau mereka, ketika mereka berjuang untuk belajar dan menjadi pintar.
Mirisnya, salah satu dari mereka harus putus sekolah ketika berhasil menjadi
rangking 2.
Kisah ini kutuliskan berdasarkan
pengalaman empiris. Pelik, menyayat hati untuk mengungkapkan kembali, apalagi
menuliskannya seperti memutar setiap potongan kisah yang baru saja terjadi. Baru
saja. Sebuah upaya untuk memulangkan kembali anak panti asuhan ke
keluarga/sanak masing-masing perlu masih perbincangan matang. Mereka biasa
menyebut hal ini dengan istilah “Reunitifikasi”. Bila kalian Tanya apakah aku
setuju, jelas dengan lantang akan kukatakan, SETUJU DENGAN SYARAT!
Mei 2015, tahun ke 5 aku menjadi
pengurus salah satu panti asuhan di bandung. Banyak yang aku lewati bersama mereka,
mulai adaptasi awal di musuhi, tak diajak bicara, membangkangnya mereka, hingga
kini kami begitu saling menyayangi, ditanya jika tak datang, disambut bila
menginjakakan kaki ke panti, dan dijahili jika diharuskan. 5 tahun terakhir aku
menjadi saksi perkembangan para adik yang berawal dari seragam merah menjadi
biru, kini ada yang abu dan bahkan menjadi mahasiswa sepertiku.
Aku pun begitu meyaksikan bagaimana
perjuangan mereka belajar ditengah keterbatasan, ditengah pelik kerinduan untuk
bertemu keluarga (bagi yang ada), tangisan setiap perpisahan, tawa di setiap kejadian,
semua besatu padu. Kami panti yang sudah seperti keluarga, hanya 11 orang
anak-anaknya, bervariasi usia, namun tak jauh denganku.
Hingga pada akhirnya, salah satu adik
panti kami harus kembali kepada keluarga, sebenarnya bukan hanya karena
regulasi mengenai standarisasi panti asuhan, tapi dari awal pun kami tak pernah
memaksa anak untuk tetap tinggal bila keluarga mereka sudah menginginkan untuk
merawatnya.
Terhenti
sekolah karena alasan ekonomi
Meski sudah tak tinggal di panti, bukan
berarti kami melepaskan diri. Seluruh biaya sekolah beserta keperluan lain
masih diupayakan sepenuhnya berasal dari panti. Tentunya, hal ini berkat
bantuan dari seluruh donatur, pemerintah daerah dan kementrian sosial. Terimakasih.
Namun, untuk pola pengasuhan dan seluruh
keputusan mengenai hidup anak, kini sudah berada ditangan keluarga. Panti tidak
bisa intervensi lebih, selain membantu memberikan pertimbangan, solusi dan
rujukan. Termasuk mengeanai sekolah. Sebut saja namanya zia, keluarganya memang
berada jauh dalam kata berkecukupan. Ayahnya sudah tak bisa bekerja karena
stroke ringan, ibunya buruh di pabrik dengan penghasilan yang tak menentu. Sering
sakit pula.
Selama di panti dulu, zia pun sering
mengatakan ingin merawat ayahnya, membawa ke rumah sakit dan selalu berada di
sampingnya, dan ia pun ingin bekerja. Jelas, atas nama hak anak dan penyadaran
atas tanggung jawab orang tua, masyarakat, dengan tegas kami cegah. Agar dia
tetap bersekolah.
Ternyata hal itu hanya bertahan ketika
zia di panti. Selepas dia dirawat keluarga, awalnya memang mengeluh karena uang
sekolah yang mahal, padahal panti sudah membiayai. Tak paham ada angin apa,
aku mendengar kabar dari
salah satu adik pantiku juga, bahwa zia sudah tak
sekolah selama 3 minggu.
Semua canda tawa yang sedang kulalui di
panti bersama anak-anak sontak terhenti. Kami putuskan untuk mengunjungi zia
keesokan harinya. Untuk memastikan hal apa yang membuat anak yang kini memiliki
motivasi sekolah tinggi harus terhenti kurang lebih 3 minggu lamanya, ini pasti
ada yang penting pikirku.
Benar dugaanku, kutemukan anak ini hanya
dikamarnya. Kami disambut oleh orang tuanya yang sedang berisitirahat diruang
tengah yang sekaligus kamarnya. Tak enak memang, namun ini penting, untuk masa
depan zia.
Masih tampak jelas dalam raut wajah, zia
kian tertunduk dalam ketika kutanyai mengapa dirinya lama sekali tak masuk
sekolah. Tak banyak bicara, hanya menjawab “gak ada uang saku teh”.
“kan zia tinggal datang ke panti,
biasanya rutin kan dikasih,”? jawabku
“kemarin sempat kesana, tapi gak ketemu
terus pak aep, waktunya gak cocok,”. Ujar Zia
Ternyata permasalahnnya bukan hanya di
uang saku, namun zia pun harus bekerja. Usia 14 tahun bekerja dengan 8 jam
perhari menjadi buruh pabrik. Bermodalkan meminjam ijazah saudara dan membayar
800 ribu untuk upah memasukan dirinya ke pabrik oleh agency. Demi apapun aku
mengutuk para penyuap pabrik yang kian tega mengizinkan anak dibawah umur untuk
bekerja demi lembaran uang 100 ribuan.
Permasalahan muncul dalam beberapa hal. pertama orang tuanya terlanjur meminjam uang kepada tetangga sejumlah 800 ribu. zia pun sudah mulai bekerja selama 1 minggu. sekolahya total terhenti selama 3 minggu, ayahnya sakit, ibunya sudah jarang jualan. polemik, aku hanya bisa menggigit bibir, menghela nafas dan memberikan beberapa alternatif. termasuk membantu keluarganya agar zia tetap lanjut sekolah.
aku paling memmbenci alasan ekonomi sebagai alasan terhentinya sebuah pendidikan. bukan berarti aku sudah mapan, belum tentunya. namun aku paham soal pengorbanan dan kerja keras untuk terus sekolah, baik itu orang tuanya, maupun anaknya. tapi zia masih terlalu kecil untuk berpikir mengenai uang, orang tua dan kakaknya masih berhak untuk memikir hal itu lebih dalam.
obrolan panjang lebar itu tak membuahkan solusi yang optimal, kuputuskan untuk kembali minggu depan agar zia dan keluarga berpikir mengenai solusi terbaik untuk zia. harapannya zia tetap sekolah. lanjut.
hari itu telah tiba, ya tepatnya hari ini. seminggu setelah kesepakatan pertemuan untuk berpikir mengenai keputusan zia. aku bersama widia, salah satu anak asuh panti pun bergegas ke rumah zia, yang hanya menempuh 15 menit menggunakan sepeda motorku.
lagi lagi, ayah dan ibunya sedang asik menonton tv, zia di kamar. wajah zia murung, terlihat sedih, semoga itu bukan pertanda buruk. dia tak berkata apapun selain bersalaman denganku. aku mulai bertanya mengenai kabar awalnya, lama-lama mengenai keputusan.
keputusan itu membuatku diam terpatung, hampir menangis dan bingung entah akan melakukan apa. zia memutuskan untuk bekerja, sudah tak bernafsu untuk sekolah kembali. ibunya memperkuat bahwa zia akan terus bekerja, karena itu pilihannya.
dalam hati aku mengutuk, anak 14 tahun belum bisa berpikir maksimal mengenai masa depan, apalagi mengenai pekerjaan, yang membuat ijazah palsu, membayar agency, dan membiarkan bekerja, memang siapa? tak luput keluarganya sendiri. alih-alih berlama-lama, setelah lobi dan meyakinkan sana-sini, zia tetap tak bergeming. masuk ke kamarnya dan tak meninggalkan komentar selain keputusan tak lanjut sekolah.
hal ini yang menjadi renunganku mengenai reuntifikasi. bukan karena zia, tapi sudah 2 anak pantiku bernasib sama. ketika dipulangkan, mereka tak disekolahkan dengan alasan keterbatasan ekonomi. reunitiffikasi harus berdasarkan pemahaman maksimal, bukan hanya sekedar dipulangkan. orang tuanya juga harus paham pengasuhan dan hak anak yang benar. bukan yang baik. orang tua harus memiliki pengetahuan parenting yang baik, kemampuan ekonomi yang baik serta komitmen untuk menjaga, merawat dan memberikan hak terbaik bagi anak. selama di panti, kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi hak mereka, apapun itu, fisik, emosional, spiritual, selama memungkinkan. belum sempurna memang, tapi terus diupayakan.
usaha hanya sekedar memulangkan hanya tanpa solusi berkelanjutan memang takkan membuahkan hasil yang maksimal. kita takkan bisa pukul rata bahwa semua orang tua paham, menyayangi dengan benar, tidak membiarkan. orang tua perlu disiapkan, disiapkan dalam berbagai aspek. agar paham, tak salah solusi, tak salah dalam memberikan keputusan.
ekonomi, pengasuhan, kasih sayang, masih menjadi pr bersama. bukan hanya yang akan dipulangkan, tapi yang akan menerima kepulangan dan bertanggungjawab melakukan proses pemulangan.
goresan dalam petang, 11 januari 2015, 1:15. dalam renungan batas kamar imajinasi yang takkan berhenti oleh sebuah keterbatasan diksi.
Komentar