Mengasah Naluri
Izinkan saya untuk bercerita
mengenai fenomena yang marak ditemui dipelbagai lembaga layanan sosial, seperti
halnya panti asuhan. Berbagai temuan ini memang tidak bisa di pukul rata
terjadi pada semua lembaga. Setidaknya, 7 tahun bersamai perkembangan mereka,
menjadi keinginan kuat untuk menumpahkan kisahnya disini. Mohon maaf pula bila
identitas, jenis kelamin tak dapat saya munculkan, sejatinya yang menjadi bahan
pelajaran adalah kisahnya, bukan anaknya.
Bahan renungan bagi kita, calon
orang tua atau mereka yang sudah menjadi orang tua, untuk memperlakukan
anaknya, berpikir jauh apabila terjadi pertengkaran “receh” yang memicu
perdebatan pasangan, atau keinginan untuk berkhianat yang muncul dari salah
satu pasangan, setidaknya harus dipikir matang dan jauh ke depan dengan
mempertimbangkan masa depan, psikologis, beban mental yang akan dipikul oleh
anak.
Namun, apabila nyatanya orang
tua memutuskan untuk berpisah (bercerai), sudah tak bisa lagi untuk mencari
jalan keluar, sejatinya mereka harus mempersiapkan solusi penanggulangan dan
pengasuhan terbaik, adil bagi anak apabila perpisahan memang tidak bisa
dihindarkan, meski allah membencinya.
Beberapa dari banyak anak yang
saya temui di panti asuhan yang sering saya kunjungi hari ini, berasal dari
kondisi keluarga yang tidak beruntung. Entah yatim piatu, ditelantarkan, tidak
teridentifikasi secara jelas anggota keluarganya atau bahkan dhuafa. Kasus yang
paling menarik perhatian dan kekesalan jiwa saya adalah penelantaran.
Memang, keseluruhan pengurus
panti asuhan Al-Qomariyah yang sedang digeluti ini berusia dibawah 30 tahun
kecuali kepala asrama yang tinggal di panti yang merupakan pasangan suami
istri. Kami, pengurus yang notabenenya masih muda dan belum memiliki pengalaman
mumpuni mengenai mengurus keluarga dan terbiasa tinggal bersama ibu dan bapak
cukup mengkerenyitkan kening tatkala menemukan, dihubungi oleh sanak keluarga
anak agar anaknya “dididik dan diurus” oleh pihak panti asuhan.
Sederhana saya bertanya kepada
pihak yang biasa menghubungi pengurus apabila ada anak yang memang membutuhkan
bantuan.
“orang tuanya kemana pak?
“wah neng, kasian pokoknya,
ibunya ada di luar negeri, bapaknya ada di banten, keluarganya pada pisah-pisah
semua”.
“ini anak disini tinggal sama
siapa sebelumnya?
“sama kakek neneknya neng, udah
tua, dia dari kecil udh pisah sama orang tuanya. Orang tuanya bercerai. Ibunya
nikah lagi, bapaknya kerja di banten, kakaknya pada pisah juga ngga tau ada
dimana”.
“orang tuanya masih membiayai
dan menengok si anak ke rumah neneknya pak?
“boro-boro neng, ketemu si
anakny aja ketika lebaran udah untung, kalo bisa. Biasanya sih ngga.
Nafas saya pun berat, sesekali
saya lihat wajah anaknya yang sedang berada di luar ruangan, tak nampak wajah
sedih, menyesal atau bersikap tidak wajar. Wajahnya damai, tenang dan bicaranya
sangat santun, bila saya tidak mengetahui kisahnya dari bapak yang menemui
saya, tak pernah terlintas anak ini memiliki masa lalu yang buruk.
“ini anak sekolah pak?
“sekolah neng di pesantren,
tapi terancam berhenti.
“kenapa pak?
“kakek neneknya udah gak
sanggup bayar iuran bulanan, katanya sih kemarin ibunya dari di luar negeri itu
mau bayarin sekolah, tapi ternyata gak ada terus.
“berapa pak iuran sekolah per
bulannya?
“150 ribu neng”.
Astagfirlahaladzim. Mungkin untuk
sebagian besar daripada kita, uang segitu adalah uang jajan per bulan atau
minggu, atau bisa jadi hanya hitungan hari, bagi keluarga si anak, uang itu
adalah iuran sekolah yang bahkan tak sanggup untuk mereka penuhi. Orang tua
anak pun tak ada kabar.
Ucap syukur dan haru ketika
allah berikan pelajaran kisah mengenai kehidupan anak ini. Lebih bersyukur
terhadap rezeki yang diberi, tidak menyia-nyiakan pendidikan yang telah diemban
dan masih diberikan kesempatan untuk disayangi orang tua.
Akhinya, setelah wawancara,
menggali data kepada anak, sanak keluarga dan diskusi pengurus, anak ini pun
tinggal di panti alqomariyah, akan kami sekolahkan hingga selesai dan akan kami
upayakan untuk mencari tahu keberadaan keluarganya. Agar anak ini bisa bertemu
sanak keluarga sesekali, menghubungi ibunya, berbincang bersama bapaknya.
Lagi-lagi ditengah keterbatasan
dan kesedihan yang menimpa, tak sedikitpun raut wajah sedih dan murung nampak
dari wajah si anak. Yang ada, anak ini selalu mengutarakan keinginannya pada
saya.
“saya mau jadi guru agama teh,
mau kuliah sampai selesai”
Termaktub dalam ingatan,
menusuk dalam naluri bahwa kami pengurus panti akan mengupayakan agar citanya
terlampaui. Tapi, anak ini mengalami kemunduran emosi akhir-akhir ini. Dirinya sedang
sakit, beberapa kali kami ajak untuk kontrol ke dokter speasialis, tidak parah
memang, namun hal yang membuat saya dan pengurus lain kaget adalah mengenai
penyebab dari sakitnya.
“anaknya stress teh, dia harus
pulih dari stressnya biar sakitnya juga sembuh”
Stress? Anak ini tidak pernah
menunjukan gejala perilaku murung, sering berdiam diri di kamar atau perilaku
menarik diri lainnya. Tawa renyah, candaan hebat sering terlontar dari
wajahnya. Tapi, memang anak ini sering untuk bercanda berlebihan dan menyanyi
dengan kencang. Mungkin bukan dengan bersedih caranya, tapi justru
kebalikannya, menyembunyikan tangis dibalik tawanya.
Kini, kami sedang melakukan
pendekatan terapi untuk si anak. Dalam jangka waktu berkala, saya ajak anak
untuk mengobrol dan menjelajahi masa lalunya. Ternyata, ada beban emosi, dendam
masa lalu yang belum anak ini lupakan.
Kenangan pahit ditinggalkan
orang tua ketika kecil, melihat ibunya sering dipukul ayahnya dan tidak pernah
mendapatkan pola pengasuhan yang baik dari orang tuanya. Awalnya, dia membenci
keduanya, bahkan anak ini mengaku tak ingin berbakti pada ibunya.
Kejadian yang telah berlangsung
lama, masih berbekas sempurna dalam benak si anak, hal ini jelas akan
mempengaruhi kondisi mental si anak apabila tidak ditangani dengan baik. Kami pun
sedang berupaya untuk menghubungi orang tuanya di luar negeri, bapaknya di
banten dan menghubungi kembali kakaknya yang telah berpisah. Mengembalikan kembali
kepingan kenangan yang seharusnya masih dimiliki oleh anak seusianya.
Terkadang, kita sering merasa
bahwa keluarga kita tidak sempurna dan menginginkan keluarga yang lebih baik,
meski kita sudah tinggal serumah, masih bisa sekolah dengan nyaman dan sering
berkumpul bersama keluarga. Tapi, banyak anak-anak diluar sana, yang hanya
ingin bertemu, cukup saling sapa dan dielus kepalanya, itu pun sulit
diupayakan, jauh daripada itu, diasuh oleh orangtua selagi ada pun, masih terus
diusahakan.
Bersyukur, terus bersyukur. Itu
kuncinya. Belum menikah, pilih-pilih pasangan karena urusan harta, padahal
akhlak lebih dari segalanya. Berapa banyak pasangan yang bercerai, berkelahi
karena urusan uang, apabila pasangan tersebut tidak dibubuhi taqwa untuk
mengelola harta.
Sudah menikah, tidak bersyukur
memiliki keluarga, inginnya punya istri lagi, ganti suami atau bekerja terus
terusan. Padahal, banyak anak yang hanya menginginkan ibu bapaknya akan ada
waktu di rumah, saling bercengkrama, bertegur sapa dan bahagia meski hidup
sederhana.
Ataupun kita sebagai anak,
seringkali menuntut hal aneh-aneh yang sulit dipenuhi orang tua, minta ini,
minta itu, padahal banyak anak yang hanya ingin sekedar ditanya kabarnya,
dielus kepalanya sampai harus mencari dan menangis sejadi-jadinya. Intinya,
hiduplah sesuai apa yang allah beri, syukuri yang telah didapati, nikmati untuk
dibagi. Semoga kita sama-sama introspeksi bahwa tak ada satu hal pun yang
bersifat duniawi yang akan kita bawa mati.
Komentar