Refleksi dua bulan setelah pake toga


Buatku, menulis adalah refleksi. Ketika kita bisa sama-sama saling mengerti satu sama lain, membuat proyeksi mengenai prinsip pribadi melalui diksi. Dalam baris setiap paragrafnya kini, hanya berisi ucapan syukur dan terimakasih telah melahirkanku dan memberikan kesempatan untukku meraih gelar yang selalu ku panjatkan untuk menjadi kado untuk ibu. Akhirnya anakmu ini telah wisuda.


Untaian paragraf ini pun menjadi saksi bahwa tak selamanya hambatan untukmu meraih mimpi berasal dari lingkungan terdekatmu, uang misalnya, hambatan belajar atau lingkungan  yang tidak menyenangkan. Bahkan, bisa saja sebetulnya tersendatnya pendidikan selama ini karena kurangnya dekatnya diri pada sang maha melancarkan kehidupan, ibu dan tuhanmu.

Sebelumnya, selama 5,5 tahun kuliah, hampir semester 1-8 aku habiskan bersama teman-teman, rekan kerja bahkan sendirian. Jarang pulang ke rumah, seringnya nginep di kosan teman, di panti atau bahkan di sekre organisasi. Klise alasannya, urusan pekerjaan, komitmen dan tanggung jawab, namun menganulir kewajiban pribadi yang paling mutlak. Pulang.

Bisa dihitung jari dalam sehari, berapa kali aku bertemu ibu, makan di rumah atau bahkan berbincang mengenai urusan masing-masing. Saking sibuknya menjadi ketua organisasi sana-sini, bekerja paruh waktu, ikutan komunitas membuatku lupa bahwa ada yang menungguku dan selalu bawel di rumah, ibu. Tapi, tak sayup terdengar bisikan bahwa dirinya merindukanku. Kesibukan, asyiknya punya banyak teman membuatku nyaman dan merasa semuanya baik-baik saja, hingga satu ketika, semuanya membuatku menjadi titik balik.

Aku terancam berhenti kuliah.
Kesibukan dan keasyikan memiliki aktivitas di luar, membuatku mengesampingkan kewajiban absen kuliah, hampir keseluruhan mata kuliah hanya kuhadiri 10-20% saja dalam satu semester, meski mendapat predikat baik dalam nilai ujian dan tugas paper, tentu tak bisa diterima oleh nalar para dosen mengenai tak seringnya mereka melihat ujung batang hidungku hadir dikelas.

Ketika skripsiku akan mulai ku urus, aku yang berpikir semuanya baik-baik saja, nyatanya ini adalah awal dari kemunduran masa studi, banyak nilaiku yang kosong, tak ada nilainya, aku dianggap tak pernah mengikuti ujian dan harus mengulang mata kuliah, daripada harus menempuh jalur nepotisme, aku memutuskan mengulang. Menambah satu tahun masa studi dan mencoba memperbaiki. Mengikuti kelas bersama adik-adik tingkat yang tidak pernah aku temui sebelumnya, mengikuti satu persatu dosen yang sering aku abaikan jam kuliahnya, mengerjakan satu persatu tugas yang sering aku tinggalkan hanya dalam folder komputer.

Nyatanya, itu tetap tak memperbaiki.
Aku harus ujian khusus 9 mata kuliah.

Salah satu kebiasan buruk selama aku kuliah adalah aku tak penah peduli untuk mengecek IPK dan mata kuliah. Alhasil, setelah lagi-lagi asyik dengan riset selama satu tahun untuk skripsi, aku terkena dampaknya, ada beberapa dosen yang masih enggan mengeluarkan nilai. Ada 9 jumlahnya, tak ada waktu lagi untuk mengulang, aku harus ujian khusus.

Satu persatu dosen tersebut aku temui, mulai dari dosen semester 1 hingga dosen senior bahkan dosen wali. Satu hal yang aku dapati, mereka peduli, sengaja memancing dengan tidak memberikanku nilai agar aku menemuinya, mengobrol dan meminta wejangan. Semua dosen yang tak memberikanku nilai adalah mereka yang tak pernah aku tampakkan untuk hadir dikelas. Aku sering melewatkannya. Jangan anggap aku malas, aku tetap belajar, dengan caraku, meski sebagian daripadamu atau mereka, pasti akan menganggapku sepenuhnya salah.

Kamu akan mendapatkan sosokku yang pendiam dan tak banyak bicara hanya di satu tempat. Di kelas dan di jurusanku. Bahkan selama di kelas dan kuliah, temanku bisa diitung sebelah tangan, suaraku bahkan hanya bisa didengar semut, gerakanku bak angin, jarang terlihat. Hanya dikelas.

Satu hal yang aku dapati. Orang yang tak mengenalmu takkan pernah rela untuk melihat sosokmu jauh kedalam, takkan peduli apa hambatanmu, takkan pernah mengapresiasi apa pencapaianmu. Satu dalam benak mereka, kesalahan terakhirmu yang harus dibalas secepat dan diakui sesering mungkin.

Udah diujung tanduk.
Skripsi udah kelar, tinggal sidang, terancam gagal.

Masa paling deg-degan dalam hidup, selain ketika acara lamaran satu bulan sebelumnya. *cie pengumuman. (iya, biar gak di modusin terus)

Ingat betul dalam benak, bulan desember tahun 2016, jadwal sidang akhir seluruh fakultas di kampusku. Sidang proposal skripsiku sudah berlangsung sejak tahun 2015, riset dan mager yang memakan waktu hingga satu tahun membuatku kembali di akhir tahun 2016.
Parahnya, ketika hendak untuk mendaftar sidang draft, aku terperanjak. Mesin komputer registrasi di kampusku menolak ketika aku akan melakukan input data. Seketika aku tanya petugas, mereka merekomendasikan aku untuk bertanya ke bagian administrasi (keuangan tepatnya).
Langkahku berat, pikiranku mulai bertindak tidak karuan, ini sudah pertengahan bulan dan sidang akhir akan dilangsungan hanya dalam hitungan minggu. Aku mulai panik. Kertas skripsi yang selalu aku selipkan dalam map, menjadi sering aku tengoki, beberapa kali hingga langkahku menuju ruangan itu terhenti.
Ketakutanku lebih dari ekspektasi, kukira biaya kuliahku tak sebanyak itu, aku tak pernah mengecek karena kuliahku selalu di penuhi beasiswa. Ternyata, kebijakan itu tak berlaku ketika semesterku sudah melampaui batas sewajarnya. Lagi-lagi aku kecolongan. Aku sudah semester 11, normalnya hanya hingga semester 8.

Petugas keuanganpun mengehela nafas, sambil diserahkannya bukti rincian kuliah yang harus aku lunasi sebelum berakhirnya pendaftaran sidang akhir. Aku hanya menelan ludah, bernafas berat dan meninggalkan petugas tersebut tanpa menolehnya kembali. Maaf pak, aku lupa mengucapkan terimakasih.

Aku berhenti di tangga kampus menuju lantai 2, ada dua digit disana. Jauh dari pikiranku mengenai biaya kuliah, setahun memang aku harus membayar kurang lebih 7 juta. Ada 14 juta yang harus aku bayar, bila mau lulus tahun ini, dan memang harus, karena ini batas akhir studiku, aku harus membayar semuanya, lunas. 14 juta.

Waktu itu, pukul 10, kampus masih lengang, air mataku menetes, langsung menuju mushola kampus, aku memanjatkan doa dalam dhuha. Beruntungnya, tak ada lagi manusia disana, aku menangis sejadi-jadinya, mengharap keajaiban pada Allah, dalam hitungan minggu, nasib kuliahku akan jadi taruhannya.
Satu jam berlalu, mataku sudah sipit sempurna tak nampak kelopaknya karena terlalu banyak mengeluarkan air mata, aku mulai berbenah. Aku berserah diri, menghadap dosen pembimbingku yang sekaligus sebagai wakil dekan III bagian kemahasiswaan, mengutarakan niat, yang mungkin akan menjadi keputusan paling besar, paling tidak masuk akal dan dianggap sia-sia oleh sebagian orang. Aku memutuskan akan meminta izin untuk berhenti saja.

“pak, saya mau berhenti kuliah saja, tunggakan kuliah saya harus dibayar sebesar 14 juta, waktu penutupan pendaftaran sidang akhir hanya 2 minggu lagi, saya udah sering ngerepotin bapak, bikin susah kampus, udah keseringan minta penangguhan, udah sering dapet beasiswa, kali ini saya malu pak, saya mau selesai”.

Belum pernah aku melihat dosen pembimbing saya ini bernafas sebegitu dalamnya.
“berikan bapak kertas tunggakan kamu yang sudah disahkan bagian keuangan, biar bapak coba urus dan upayakan ke dekan. Kamu harus selesaikan kuliah, berapa uang yang kamu punya untuk bayar ini?

“5 juta pak”, ucapku lirih.
“berapa yang harus dibayar”?
“14 juta pak”
“kurang 9 juta ya pah, ada lagi yang bisa kamu usahain pah?”
“gak ada pak, itu juga udah mangkas semuanya, termasuk minjem ke temen, kalo ngutang lagi, ipah ngga mau pak, makanya mau ngajuin udahan aja”.
“baik pah, berdoa aja ya, tunggu kabar bapak seminggu atau dua minggu lagi, semoga ada kabar baik”.
“tapi pak, pendaftaran sidang akhirnya ditutup dua minggu lagi”
“ipah, itu udah jadi urusan bapak. Kamu juga harus coba untuk menemui wakil rektor, kamu kan sudah pernah beberapa kali mewakili kampus dalam beberapa ajang, seharusnya itu bisa menjadi penguat”

Aku pun menunduk mengiyakan.

Dua minggu setelahnya, akhirnya aku pun bisa bertemu bersama wakil rektor, meminta arahan dan wejangan. Wakil rektor pun menyarankan hal yang sama, tidak mendukung keputusanku untuk berhenti didetik-detik akhir masa perjuangan. Beliau pun sepakat untuk membantuku melakukan mediasi. Ditengah teleponnya bersama dosen pembimbingku, “ipah, kamu ke lengkong sekarang, ada dekan dan wakil dekan menunggumu disana, katanya tlp ke nomor kamu gak aktif”

lagi-lagi aku mengiiyakan.
Ternyata, aku baru menyadari, pihak kampus sulit menghubungiku, karena handphoneku hilang dan aku tidak menyadarinya, aku pun langsung bergegas ke kampus lengkong untuk menemui dekan dan wakil dekan.

Tergopoh setengah berlari menuju lantai 1, wakil dekan III pun menyeru untuk segera menemuinya.
“ipah, gimana hasil tadi ketemu sama wakil rektor?”
“sama pak, alhamdulilah wakil rektor mau membantu untuk berbicara dengan dekan”
“maksud bapak, apa dia mau ngeluarin surat penguat untuk kamu?
“kata pak wakil rektor, gak usah pak, katanya tadi udah tlp bapak”

Wakil dekan ku pun menghela nafas.
Bapak pikir, kamu menemui sana-sini, akan ada surat penguat untuk bapak obrolkan ke dekan. Yaudah, tunggu sebentar disini, kebetulan ada bapak dekan didalam. Sebenarnya, kami sudah membahas soal kamu tadi siang, bapak akan membahasnya lagi sekarang, kamu tunggu disini.

Wakil dekanku masuk ke ruangan dekan dan aku pun menunggu cemas diluar, selalu berdoa kepada Allah agar diberi kemudahan dan keputusan yang tepat.

Suara teriakan dekanku memecah kecemasan, seraya berjalan cepat kearahku beliau menyeru, seruan yang tak pernah aku lupakan.
“ipah, doa apa kamu semalam, kamu cuman disuruh membayar 3 juta”.
“hah, gimana pak maksudnya, 3 juta yang dibebasin atau bayar 3 juta aja?
“waduh, masuk aja ke dalam sana, bapak dekan mau ketemu kamu, udah nunggu.

Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung memasuki ruangan, meminta izin masuk dan langsung duduk tepat berhadapan dengan pak dekan.
Aku tak kuasa berkata apa apa lagi.
Tiba-tiba, dekanku berkata.

“ipah, saya udah dengar mengenai kamu dari wakil dekan dan wakil rektor”

Aku bernafas dalam dan hanya bisa menunduk tak berani menatap wajah bapak dekan.

Namun, tiba-tiba bapak dekan melakukan gerakan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, beliau mengeluarkan dompetnya dan menghitung uang ratusan ribu yang ada digenggamannya dan memberikannya padaku, ada 20 lembar ratusan ribu yang diserahkannya.

“kamu gak usah bayar yang 14 juta itu sepenuhnya, saya tau kalo kamu hanya ada 5 juta, itu pun gak usah dibayar semua. Kamu cukup bayar 3 jutanya aja, 2 jutanya dari saya pribadi. Saya baru dapat rezeki, mungkin ini rezekinya kamu yang dititip ke saya”.

Saya tertegun, menunduk lalu menangis di depan dekan dan wakil dekan.
“terimakasih pak, terimakasih atas kesempatan dan kebaikan bapak dan kampus kepada saya selama ini”
“terserah uang yang dua juta yang kamu punya mau dikasih ke ibu kamu atau dipake bayar wisuda nanti, yang penting gitu aja.
“jadi, saya bisa lulus dan tanpa bayar sisanya?
“iya ipah, selamat ya. Pokoknya nanti, kalo sudah lulus dan jadi orang, jangan lupa sama kampus, jaga nama baik almamater.

Saya tak kuasa lagi menahan tangis, seraya pamit langsung menyalami dekan dan keluar ruangan.
Wakil dekan saya mengentikan langkah saya dan kami pun duduk bersama dengan dosen yang lain  di luar ruangan. Beliau paling antusias bertanya mengenai apa yang saya lakukan semalam atau selama ini hingga akhirnya pak dekan begitu lembutnya mau membantu dan memberikan saya beasiswa untuk melunasi biaya kuliah.

“ya ampun ipah, masya allah itu rezeki kamu, apa yang kamu lakukan bisa sampe kayak gitu”
“mungkin ini doa ibu saya dan anak-anak panti pak. Kedua pihak ini rajin banget doain saya”

“Ipah, hanya allah yang membolak-balikan hati manusia, mahasiswa yang kayak kamu banyak di kampus ini, yang kesulitan bayar kuliah, tapi kenapa cuman kamu yang dibantu segitunya sama dekan? Gak salah lagi, pasti ada campur tangan allah yang buat hati kami tergerak untuk bantu kamu. Bukan karena kamu pernah jadi mapres univ, ke korea, juara ini itu, tapi ini murni karena allah, kalo kita sering bantuin orang, pasti allah juga bakal bantuin kita.

Mendapat petuah itu, aku pun mengaamini dan tak berhenti untuk tidak menangis.
Aku pamit pulang, sujud syukur di kampus, sepulangnya, aku cerita pada ibu. Jelas tanpa tangisan dan cerita bagaimana akhirnya aku bisa bebas biaya kuliah, aku hanya bilang
“mah, minggu depan ipah sidang akhir dan lunas biaya kuliah, pake beasiswa dan februari, ipah wisuda”

Kalimat tersebut sudah cukup untuk membuatnya senyum merekah dan hanya mengiyakan. Aku tau, itu sangat membahagiakannya.

Dan akhirnya, ibuku sayang,
Ibu kokom komariah, orang tua tunggal yang membesarkanku hingga saat ini, memberikanku dampak perjuangan hidup untuk tidak pernah menyerah, yang selalu menyiapkan sarapan sehat setiap pagi, makanakan yang lezat setiap hari, selalu memastikan baju yang aku miliki pantas untuk aku kenakan, selalu menangis di setiap sepertiga malam untuk mendoakanku. baru satu janjiku yang telah aku penuhi. Aku berhasil wisuda.

Dan untukmu yang diluar sana dan sedang berjuang untuk menyelesaikan janjimu pada orang tua mengenai pendidikan, bersyukurlah bila jalanmu lapang tanpa hambatan, maksimalkan dengan baik. Untukmu yang sedang tersendat, allah masih rindu dengan doamu. Allah tak pernah mengecewakan setiap hambaNya yang telah berdoa dan berusaha. Aku percaya itu.

Btw, itu ibu saya paling kanan. foto keluarganya belum dipindahin ke laptop, huhuhu.


Bandung, 16 April 2017
23 :29
Refleksi 2 bulan menjadi sarjana.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 lokasi cetak kain (sublimasi) dan lokasi hits beli kain polyester di Bandung. Cocok untuk pengusaha produk custom

Enam Rekomendasi Wedding Souvenir dengan harga 10-ribuan!

Manusia pertama di bumi dan Kehebatannya