IMTIHAN RAMADHAN || KILAS BALIK MENGAJI

“Bila hari ini kamu masih membenci bapakmu karena ulahnya, itu bukan salahnya, namun salahku yang tak mengajarkanmu dari dulu untuk bersikap adil dalam melihat kebencian”.

“Bila hari ini kamu masih membenci dia dan tak ingin hidup bersamanya, itu salahnya, karena dia tak berusaha untuk membuatmu kembali padanya meski sudah aku coba untuk berikan kesempatan itu. Akhirnya kamu memutuskan untuk tetap tinggal denganku, meski awalnya terasa asing, karena kita baru saja bertemu kembali ketika kamu remaja ”. – Ibu – 

Barisan anak-anak berseragam coklat dengan peci putih untuk pria dan balutan gamis coklat senada untuk wanita memenuhi belakang panggung imtihan. Mereka bersiap untuk pentas nyanyi bersama setelah acara mengaji. Riuh teriak guru ngaji yang meminta mereka untuk tertib dan diam. Namanya anak-anak, mereka tetap tak peduli, lari kesana kemari, mengelilngi tiang, lari keluar mesjid dan berbincang bersama teman. Namun, setiap guru madrasah pasti memiliki seruan yang memancing anak-anak untuk diam. Itu ampuh. Aku terpaku, hanya melihat kegaduhan dari belakang, memperhatikan.

Aku sudah siap dengan kamera ponselku, izinku membelakangi ibu-ibu yang duduk di belakang agar aku bisa mengambil puluhan potret anak yang sudah bersiap berbaris untuk menyanyi. Ditemani pembimbing dan guru mereka dibelakang, tak peduli sesumbang apapun suara mereka, tak bernada, namun tetap nyaring di telinga. Mereka anak-anak, natural tingkahnya.

Fokusku kini merekam momen mereka mengaji, lampu kuning terbuat dari balutan kertas wajit membungkus lampu 5 watt untuk menimbulkan kesan lighting panggung. Baru saja 10 menit mereka menyanyi. Aku berhenti merekam. aku tak sanggup untuk melanjutkannya kembali, berbalik dan mengambil motorku, aku pulang. Tanpa disadari, air mata kian deras menetes di pipi.

Semua ini mengembalikan ingatanku, kisah 15 tahun yang lalu, ketika aku masih berada dalam keluarga lengkap, ada ibu, bapak dan kakak dan adikku.

Pentas ini mengingatkanku akan guncangan keluarga yang mengharuskan kami berpisah bertahun tahun lamanya, nyanyian yang dilakukan anak-anak ini pernah pula aku lakukan dulu rupanya. Sama persis, namun tanpa dihadiri bapak

Semua ini mengembalikan memori yang kian lama aku lupakan, terkubur jauh dalam ingatan, tak pernah tersentuh kembali, seketika muncul ke permukaan akibat pentas anak-anak pengajian.

Iya, aku dulu di posisi mereka, merasakan kegembiraan itu, didandani bak putri semalam, menyanyi ceria diatas panggung, menyanyikan lagu islami, menari berlenggak lenggok cerianya. Meski yang tidak pahami kepada bapa tak ada, aku tak mengerti. Aku terlalu kecil untuk mengerti, hingga kini ku sadari, ingatan itu semuanya telah kembali. Masa lalu yang kian aku hapus dalam memori, kini muncul lagi dengan versi penuh tanpa titik terlewati.

Kisah bagaimana aku dibesarkan oleh penyaksian setiap pukulan yang dilakukan bapa terhadap ibu, ketika aku keracunan ayam cepat saji karena saking tak mampunya kami membeli makanan kelas atas itu, ketika aku harus menunggu bapaku dipinggir jalan untuk meminta uang saku ke sekolah hingga ketika aku harus menyaksikan bapa menikah lagi dengan wanita yang tak asing dalam hidup, melihat mereka hidup bersama dan memiliki anak.

Namun, kilas balik ini yang menguatkanku, membuat aku dan ibu hidup mandiri dengan ayah, aku kuliah hingga sarjana, keliling dunia dan membuktikan padanya bahwa aku bisa menjadi anak kebanggaannya yang dulu kian diremehkan karena aku tak berada.

Mari aku perkenalkan makanan kesukaanku, “ES KRIM”

“bu, aku ingin es krim puddle pop itu yang harga 1500 aja,”

“ibu belum punya uang, gaji ibu belum dibayar oleh majikan ibu. Kalo pun dibayar kan kita belum beli beras sama makanan buat makan. Nanti ibu buat es lilin saja ya dirumah”

“es lilinnya bisa rasa strawberry ya bu, biar sama kayak rasa es krim itu yah,”

“iya, pasti lebih enak”

Kami hanya berakhir dengan saling menunjuk es krim yang ada di freezer warung. Menunjuknya saja sudah menyenangkan, ibu selalu membuatkan di rumah dengan versi seadanya untuk memenuhi keinginanku.

Aku tak pernah memaksa banyak, ketika ibu menolak untuk membelikan, bukan pelit dan enggan. Aku yakin, ibu memang sedang tak punya uang. Wajar saja, kini kami hanya hidup bertiga. Aku, ibu dan adikku yang paling kecil.

Tinggal di kontrakan sepetak saja sudah untung, bisa melindungi kami dari hujan dan panas. Ruangan yang biasa kami panggil ruang serbaguna ajaib, siang hari menjadi ruang tamu dan dapur, malam hari menjadi Kasur tempat kami bertiga istirahat. Jujur, ruangan itu tak bersekat, langsung saja kalian bisa melihat sekeliling apa yang kami punya dalam satu sapuan pandangan.

Ibu menggandeng tanganku dengan ceria, siang ini kami makan dengan tempe dan kerupuk. Aku suka tempe gorengan ibu, renyah. tempe sudah menjadi menu enak bagi keluarga kami.

Namun, kebiasan buruk ku untuk selalu menunjuk es krim dimanapun aku berada cukup menjengkelkan ibu, terkadang ibu hanya mendiamkan dan aku marah. Ibu tak peduli, membiarkanku menangis. Tak pernah di elu untuk dimanja. Ini kebiasan ibu, bila anaknya menangis, dimintanya untuk menangis sekencangnya hingga lelah, tertidur, dan aku lupa telah meminta es krim padanya di hari itu.

"Bu, bila nanti aku sudah besar dan bekerja, aku ingin membeli es krim setiap hari, agar ibu tak perlu lelah membuat es lilin ketika aku memintanya dan aku benar benar merasakan rasa strawberry murni".


Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 lokasi cetak kain (sublimasi) dan lokasi hits beli kain polyester di Bandung. Cocok untuk pengusaha produk custom

Enam Rekomendasi Wedding Souvenir dengan harga 10-ribuan!

Manusia pertama di bumi dan Kehebatannya