Hari ke 9 || Ini alasanku memutuskan untuk kembali ke Mesjid Jeonju lagi.
“Kami tertawa sepanjang perjalanan. Dalam benak aku berpikir, ternyata tak ada masalah dengan perbedaan, kita hanya perlu saling mengerti, saling mendengar dan duduk bersama. Tak akan ada permusuhan apalagi pertumpahan darah. Aku merasakannya, menjadi orang paling berbeda secara keyakinan dengan mereka semua tak mengurangi batas persahabatan dan esensi diantara kami”
Jum’at
lalu menjadi hari yang tak bisa aku lupakan selama perjalananku ke korea. Kejadian
yang membuat aku sama-sama bingung, mendefinisikan toleransi dan hidup
bedampingan dalam beragama. Aku sudah terlalu terbiasa hidup dalam mayoritas,
ini adalah pengalamanku pertama merasa ketika sholat pun susah, waktunya tak
selalu tepat, kadang disatukan, seringkali diringkas. Kali ini permasalahnnya,
karena salah paham mengenai sholat jumat. Kisah lengkapnya jelas akan muncul
dihari khususnya tiba, kali ini aku hanya akan becerita mengapa aku harus
kembali lagi ke Mesjid ini.
Langkah pertama,
mencari teman untuk ke Mesjid
Hal
sengaja yang aku lakukan adalah tak ada satupun dari mahasiswa Indonesia ataupun
dosen bahkan professor choi mengetahui tentang rencana kunjunganku lagi ke
mesjid jeonju. Murni rasa penasaran dan ingin klarifikasi atas kejadian yang
terjadi jumat silam. Lantas aku berpikir, aku membutuhkan teman korea untuk
menemaniku ke mesjid itu, selain tahu jalan, dia akan membantuku berkomunikasi
dengan imam mesjid bila aku mengalami hambatan dalam berkomunikasi.
Usai
makan malam, kami sengaja bertemu untuk melakukan perjalanan diam-diam ke
mesjid itu, tanpa sepengetahuan seluruh teman-teman. Aku dan songhye meluncur
menggunakan taksi ke mesjid. Lalu, sesuatu pun terjadi.
Tetiba
aku melihat wajah songhye banyak terpaku dan hanya mendengarkan ucapan sopir taksi.
Dirinya hanya mengiyakan dan berbicara dengan lembut. Aku pun penasaran, apa
yang sedang mereka bicarakan, mengapa terkesan begitu serius.
“what’s
going on Songhye?"
Songhye
pun memberikan tanda untuk menahanku utuk tidak berbicara apapun, jarinya
menunjuk ke bibirnya untuk diam sejenak.
“I
will tell you after we'll arrive at the mosque”
Aku
pun terdiam selama perjalanan, Songhye hanya mengatakan bahwa kami akan pergi
ke mesjid Jeonju, hanya itu yang aku mengerti. Sisanya, mereka menggunakan
bahasa korea.
Aku
pun mendengar dan merasa bahwa supir taksi ini berbicara banyak terhadap Songhye, seperti ada hal menarik yang mereka bahas. Sayangnya aku tak bisa
nimbrung. Hanya diam dan mendengarkan. Sesekali Songhye hanya tersenyum
kepadaku dan kembali berbicara lagi.
Jarak
dari CBNU menuju ke mesjid ternyata tak lama, kurang dari 10 menit kita sudah
tiba. Sebelum memasuki mesjid, aku sengaja menahan Songhye agar dia bercerita
dulu apa yang terjadi didalam taksi tadi.
“ Apa yang terjadi songhye, apa yang kalian bicarakan?"
“Sopir
tadi bertanya kemana tujuan kita, lalu aku bilang bahwa kita akan ke mesjid
jeonju. Lalu sopir itu bertanya padaku. Mungkin aku akan diminta masuk islam
karena aku diajak ke mesjid ini. Namun, aku menolak, aku hanya mengatakan bahwa
kamu hanya minta untuk diantar kesini saja.
“Lalu,
selain itu, apa yang dibicarakannya songhye?
“kamu
ingat ketika aku tadi menunjukan satu kata padamu ketika aku memintamu untuk
sabar agar tak bertanya banyak?"
“iya
songhye, ekstrimis, kata yang kamu tunjukan”.
“iya
ipah, dia bilang, mengapa muslim itu tidak bisa terbuka pikirannya kepada agama
lain, kepada mereka begitu ekstirimis, sering membunuh, melukai orang dan tidak
terbuka,".
Songhye
dan aku pun menghela nafas.
Kami
hanya diam terpatung didepan bangunan mesjid, aku pun melihat kearah sekelling
dan menatap Songhye.
“songhye,
apakah aku dan teman-teman muslim disini pernah melakukan hal yang tak
mengenakkan kepadamu meski kamu bukan muslim? Apakah kami pernah melukaimu?
“Tentu
tidak ipah, kalian baik, aku yakin kalian muslim yang baik, kalian pun begitu
terbuka. Tenang ipah, supir tadi mungkin hanya termakan oleh media yang banyak
memberitakan mengenai muslim hari ini”
“
dan aku hanya ingin ditemani kamu untuk ke mesjid ini, tak ada sedikitpun niat
untuk memaksamu agar memeluk agamaku songhye”
“tentu
ipah, aku mengerti, sudahlah jangan pedulikan itu”
Kami pun akhirnya
memasuki mesjid.
Aku
takjub, masya allah ini hanya secuil rasa menjadi minoritas di negara yang tak
banyak muslim disini. Melihat keagunganmu dengan mesjid ini, ingin rasanya
meneteskan air mata lebih deras lagi, sungguh iman kita teruji ketika sendiri,
ketika tak ada adzan berkumdang, tak banyak orang berbondong ke mesjid atau
tausyiah-tausyiah ramai.
Kami
memasuki ruangan dan mencari imam mesjid. Songhye pun cukup gugup karena dia
menggunakan rok selutut dan tak menggunakan hijab.
“tak
apa songhye, tak ada hal buruk yang terjadi ketika kamu tak menggunakan hijab
disini”
“Assalamualaikum”
sapaku
“waalaikumsalam”
Terdengar
berat suara imam yang sudah berusia lanjut menyapa kami dengan ramah dan
mempersilahkan masuk. Aku pun menyampaikan maksud kedatangan untuk silaturahmi
dan berbincang sedikit dengan imam.
“jangan
panggil aku dengan sebutan bapak, professor atau apapun meski kau liat
sederetan gelar dan perawakanku. Panggil saja aku abu bakar, karena aku adalah
ayahmu, saudaramu. tak ada yang boleh di sembah selain ALLAH saja.”
Meski
gagap karena tak pernah memanggil tanpa sebutan didepan, aku mencoba
membiasakan.
“baiklah
abu bakar”
“dia
terlihat baik ipah” ujar songhye berbisik.
“iya,
sungguh berbeda dari sosok yang kami temui jumat kemarin kesini”
Abu
bakar mempersilahkan kami untuk segera meminum kopinya sedari dia mengambil
beberapa buku yang ditulisnya sendiri mengenai bagaimana awal mula dirinya
menyebarkan agama islam di korea.
“Bagaimana
awalnya mesjid ini bisa terbangun abu bakar?”
“atas
kuasa allah anakku, semua ini bisa saja terjadi,".
Mati
kutu kan bila sudah mendapat jawaban ini, namun aku tak menyerah.
“hmm,
bagaimana bisa abu tiba di korea? Apakah abu bersama keluarga disini?
“tidak
anakku, aku hanya tinggal bersama satu anakkku yang sedang menempuh pendidikan doctoral
di CBNU. Istriku beserta anakku berasal dari suriah.
Aku
terkaget, biasanya aku hanya membaca artikel dan menonton tayangan bagaimana
saudara muslim sedang kesulitan disana. Namun kini di depanku ada suami dari
keluarga yang terkena dampak langsung dari kekejaman orang orang yang menyakiti
muslim tak berdosa.
“Suriah?
Apa mereka baik baik saja?
“iya
anakku, kini mereka aman di Turki”
Hening
sejenak.tegar sekali imam di depanku ini, menyebarkan agama islam dengan mengorbankan
kehangatan bersama keluarga.
“Abu,
boleh saya bertanya sesuatu?”
“tentu
saja anakku, silahkan”
“Apakah
kita boleh berlaku keras terhadap orang lain yang tidak memeluk islam? Atau orang
korea asli disini?
“tidak
anakku, Allah S.W.T selalu mengajarkan kita melalui firmannya untuk kita hidup
damai dan saling menghargai satu sama lain, tak boleh ada permusuhan dan
perilaku tidak enak. Allah sudah mengatur jelas, kamu pun membaca Al-Quran
bukan?
“Sejenak
aku berpikir, bila tak boleh keras, mengapa jumat lalu harus terjadi demikian?
“ucapku
dalam hati.
“
Iya Aaabu, lalu apakah non muslim disini memperlakukan baik kepada muslim di
Jeonju?”
![]() |
Mesjid Jeonju - Korea selatan |
“tak ada masalah anakku”
“lalu
apakah boleh mengumandangkan adzan dengan pengeras suara disini?
“kami
tak ingin mengganggu saudara sekitar kami dengan suara yang tak mengerti, oleh
karenanya kami hanya cukup mengumandangkan adzan didalam mesjid saja”
Abu
pun sambil berjalan dan menghampiri songhe, beliau menyodorkan beberapa buku
dan memintanya untuk membacanya.
“Ipah,
apa ini bagus?”
“tentu
songhye, kamu boleh membacanya bila kamu mau”.
Rasa
penasaranku belum terjawab sempurna, namun semuanya terhenti ketika aku
mendengar suara merdu dalam mesjid. Aku amat sangat mengenali dan merindukannya.
Adzan!
Masya
allah, aku rindu suara ini, sepekan lebih di Jeonju tak pernah aku mendengar
adzan. Melihat aku yang hanya terdiam, Abu dengan suara keras segera memintaku
untuk mengambil wudhu dengan cekatan.
Ah,
ini ekspresi wajahnya dulu.
“Hurry
Up! Segeralah ambil wudu, masuk masuk!
Aku
pun dengan sedikit bergetar bergegas ke kamar mandi, karena toilet wanita tak
bisa digunakan, Abu memintaku untuk masuk saja ke toilet pria, dia yang akan
menjaganya.
Aku
mengerti sekarang, meski belum sama sekali mengenal bagaimana kondisi muslim
disini, aku melihat Abu memang cukup keras dan tanpa kompromi untuk soal waktu
shalat. Dia bisa begitu baik ketika berbincang, namun bisa begitu keras ketika
ada kompromi soal waktu shalat.
Aku
pun mengerti. Usai shalat, kami pamit dan pulang ke asrama.
Songhye,
aku ingin makan malam dengan rasa yang normal, aku juga ingin naik bus umum dan
jalan kaki.
“ipah,
apa rasa penasaranmu sudah terjawab?”
“Belum
sonhye, aku berjanji akan datang lagi kesini untuk mencari tahu lebih dalam”
“baiklah,
aku mengerti, kini kita hanya tinggal jalan ke jalan utama dan mmencari bus
umum”
Akhirnya
sepanjang perjalanan kami bercerita bagaimana pengalaman songhye mengunjungi
mesjid, ini kali pertamanya. Menurutnya, ini tak seseram yang dibayangkan
diawal.
![]() |
Mencoba naik bus umum |
Kami
menaiki bus umum dan mencari makan ayam. Seperti biasa, korea selalu dengan
porsi besarnya. Kali ini sangat enak, kami habiskan makanan ini berdua.
![]() |
Makan malam yang dihabiskan pertama bersama Songhye |
Kami
tertawa sepanjang perjalanan. Dalam benak aku berpikir, ternyata tak ada
masalah dengan perbedaan, kita hanya perlu saling mengerti, saling mendengar
dan duduk bersama. Tak akan nada permusuhan apalagi pertumpahan darah. Aku merasakannya,
menjadi orang paling berbeda secara keyakinan dengan mereka semua tak
mengurangi batas persahabatan dan esensi diantara kami.
Komentar