Hari ke 12 || Dekapan rindu




 
Lukman, Songhye, Ipah.
Sahabat pendamping selama 2 minggu di Jeonju, Mahasiswa internastonal relation CBNU.

Tetiba melompat untuk merangkul manja, mendekap mesra menandakan begitu rindunya kami tak dipertemukan hampir dua pekan. Kancil, kucingku yang tampan telah setia menunggu dibelakang pintu seperti biasa saat kepulanganku dari korea untuk pelbagai kegiatan akademis dan sosial.

Pose Manja Kancil

Sambut haru terpancar dari raut wajah ibu dan bapak yang telah menunggu kepulangan, meski tak sedramatis drama korea ketika melepas rindu, bertegur sapa dan membantu melepaskan barang bawaan cukuplah sebagai tanda sama-sama merindukan. Ibu dan bapak sengaja menunggu hingga subuh dan tak memejamkan mata untuk menyambut kepulangan. Aku sengaja tak memberitahu mereka untuk menjemput. Masih ada taksi pikirku, tak usahlah membuat orang tua paruh baya harus menerjang dinginnya udara dini hari.

“ipah bawa oleh oleh banyak buat mamah, ada nori. Bener kan yang begini?

“nah, iya bener. Coba bongkar dulu satu persatu, kamu bawa apa, ini boneka buat siapa? Kok baju banyak sekali, kamu beli sebanyak ini?

“mah, nanti siang saja ya, ipah harus berangkat langsung buat coaching usaha jam 12, jet lag nanti.

[mataku sudah sesipit artis korea]

“jangan ih, nanti mamah penasaran bawa apa aja, kan mamah mau bagiin ke tetangga, kalo nanti mamah malah bagiin baju kamu ke tetangga kan bahaya,”

[Hening dan mulai membongkar isi koper satu-persatu].

Nah, ini sudah ipah pisahkan ya mah, sisanya boleh terserah mamah mau diapain juga.

[Bergegas menaiki tangga menuju kamar.]

Sembarang melempar tas, sepatu dan jaket, tersungkur sempurna diatas Kasur dan tertidur. Tak butuh waktu lama,barang 10 menit, sudah terlelap dalam mimpi, sampai tak sadar bahwa si kancil menemani di pinggir Kasur. Tak peduli, tidur bersama saja lah kami berdua.

 

Hadiah dari Para sahabat di CBNU-Jeonju

Inilah aku, ipah. Mahasiswa biasa yang IQ-nya diambang standar manusia pada umumnya, kuliah yang katanya akan selesai akhir taun ini juga akan menceritakan mengenai bagaiamana kisah 12 hari di jeonju-korea selatan. Ketika tangis, tawa dan rasa penasaran hampir tak percaya harus berbaur menjadi satu.

Ketika penyangkalan harus dihadapkan pada kenyataan yang harus dipilih. Perjalanan mengenai pengenalan budaya, misi sosial dan usaha dalam menyambungkan titik-titik mimpi yang kian terbangun dalam wall dream selama ini.

[Bandara Incheon, 19 Mei 2016]
Kepulangan

“passportnya diambil ya, jangan sampai hilang, didalamnya sudah ada tiket, masuknya satu persatu,” ujar Harris ketua rombongan mahasiswa kami ketika membagikan passport untuk siap siap setor bagasi.

Iya ris, siap. Ini kursi no berapa? Omat ris, kalo kursi ipah bersampingan sama beliau, you-know-who-, mending ipah di sayap aja sambil pose terbang dan say hello sama kalian di samping pesawat.

“kalem pah, siap,”
“pah, aman!” jempol harris menggangkat indah menandakan sepakat.

Tut…tut..tut..
Tut..tut..tut..

Berkali kali mencoba kakao talk bersama chanmiya, sahabat di korea sebagai salam perpisahan karena aku akan kembali ke tanah air. Panggilan tak kunjung disambut, rupanya dirinya sedang dikelas. Mahasiswa korea memang sibuk sekali untuk urusan perkuliahan, mereka cenderung sangat serius dalam hal akademik.

“chanmiya, thank you for wonderful trip and sharing session in short time, never forgotten our friendship, I will back soon to jeonju as soon as possible, love. Ipah”

[10 menit kemudian]
Oke ipah, thank you

Aku kira akan ada paragraf panjang diakhir perpisahan, nyatanya tidak. Memang pengharapan yang tidak sesuai ekspektasi hanya menimbulkan luka. Ku tutup layar kakao talk, ku simpan rapat, bukan aku marah dan seperti anak kecil, memang sudah waktuya untuk pemeriksaan tas, gadjetkku harus segera dimasukan keranjang.

Korean air menjadi maskapai pilihan yang akan menghantarkan kami ke tanah air. Meski kelas ekonomi, tempat duduk yang disediakan cukup nyaman, ditambah layar tv dibelakang kursi penumpang di depan masing masing dari kami, bisa menjadi teman menghilangkan rasa bosan atas penantian tujuh jam didalam pesawat.

Masih terbayang mengenai bagaimana menggigilnya kami karena salah prediksi mengenai cuaca yang membuat demam, kebingungan memilih makanan antara halal dan haram sampai harus menggunakan gerak tubuh menyerupai babi agar mudah dipahami, hingga kisah menegangkan di satu satunya mesjid Jeonju ketika kunjungan sholat jumat, merasakan sensasi menggunakan baju tradisional korea, semua hal yang berbicara mengenai persahabatan baru, es krim dan mimpi, dalam kisah 10 hari menyambungkan titik tujuan pencapaian di negeri ginseng yang penuh dengan cinta dan drama korea, negera bebas macet namun sedang mengalami krisis pertumbuhan manusia. Makanya, aku pun mencari mualaf korea.

Bersambung –
Goresan petang








Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 lokasi cetak kain (sublimasi) dan lokasi hits beli kain polyester di Bandung. Cocok untuk pengusaha produk custom

Enam Rekomendasi Wedding Souvenir dengan harga 10-ribuan!

Manusia pertama di bumi dan Kehebatannya